Jakarta, 25/10 (ANTARA) - Penyair Taufik Ismail membacakan puisinya
bertajuk "600.000 Jamaah Haji" yang bercerita tentang tukang sepatu di
Damaskus, Suriah.
"Sosok bersahaja itu muncul dalam mimpi ulama
terkenal Abdullah bin Mubarak, karena disebut malaikat mendapat pahala
ibadah haji, meski tidak sempat menunaikan ritual haji," katanya pada
seminar nasional yang digelar DPP PKS, Kamis, di Jakarta.
Dalam
seminar yang mengusung tema "Strategi Penguatan Budaya Nasional melalui
Jalur Politik dan Sosial Kemasyarakatan", ia mengurai lebih lanjut
tentang tukang sepatu itu.
"Ternyata setelah diselidiki, tukang
sepatu itu menginfakkan tabungan haji selama 20 tahun untuk
menyelamatkan janda miskin yang kelaparan bersama anaknya. Haji wajib
seumur hidup sekali, sedang berinfak bisa setiap hari, tanpa mengurangi
bobotnya," kata Taufik Ismail.
Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri
Sosial, Drs Sapto Waluyo, MS.c, yang juga tampil sebagai narasumber
memaparkan jalur sosial untuk penguatan budaya nasional.
Menurut dia, budaya hidup sederhana dan tolong-menolong itulah yang hari-hari ini semakin menghilang.
"Sejak
awal pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II, Mensos Salim Segaf Al
Jufri menegaskan fondasi pembangunan sosial yang dibangun adalah jati
diri bangsa, yakni gotong royong dan kesetiakawanan," katanya.
"Di
atas fondasi nilai itu didirikan SDM yang handal dalam melaksanakan
tugas utama, seperti rehabilitasi, pemberdayaan, perlindungan dan
jaminan sosial, serta penanggulangan kemiskinan," tambah alumni Hubungan
Internasional Fisip Universitas Airlangga itu.
Ia menegaskan, tanpa fondasi nilai/budaya yang kokoh, maka kesejahtaraan dan ketahanan sosial tidak akan terwujud.
Sapto menyepakati perlunya kejelasan politik kebudayaan sebelum menyusun strategi.
"Kita
sering mendengar pepatah Jawa soal godaan 3-'ta' (harta, tahta dan
wanita). Padahal, dalam budaya Jawa ada 'ta' keempat, yaitu 'waskita',
yang mampu mengendalikan segala godaan dan tantangan. Hal itu jarang
diuraikan," katanya.
Begitu pula, kata dia, penyakit sosial "Mo-limo"
(maen, minum, madat, madon, maling) sesungguhnya bisa dihadapi dengan
"Mo" keenam, yakni mawas diri.
Untuk itu, kata dia, reinterpretasi
budaya lokal memang harus dilakukan agar memperkuat budaya nasional yang
maju, berdaya saing tinggi dan relevan dengan tuntutan zaman.