Jeddah, 16/10 (ANTARA) - Pemerintah Indonesia memulangkan 1.943 TKI
bermasalah dengan menggunakan pesawat haji mulai 17 hingga 20 Oktober
2012.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag RI Zubaidi di Jeddah, Selasa, mengatakan sebelumya sudah ada pembicaraan antara Kemenag RI, Kemenakertrans maskapai penerbangan Garuda dan perwakilan Indonesia di Saudi.
Dalam pembicaraan tersebut disepakati untuk memulangkan warga negara Indonesia yang bermasalah di Saudi, baik TKI maupun mereka yang melanggar masa tinggal.
"Disepakati untuk menggunakan pesawat haji yang memang kosong ketika kembali ke tanah air, sedangkan jika ada biaya lain seperti airport tax dan lainnya menjadi tanggung jawab kemenakertrans," kata Zubaidi. Sementara pelaksanaannya di Saudi dikuasakan kepada perwakilan RI.
Ditambahkannya pembicaraan pemulangan itu sudah dibahas jauh hari dan bukan proses mendadak.
Sementara Ujang Ridwan Abdullah yang dihubungi pada kesempatan berbeda mengatakan dirinya membantu proses pemulangan tersebut dengan menyediakan tempat dan memberi makan dua kali, siang dan malam, sedangkan pagi diberi makanan kecil.
"Kami menandatangani kerja sama dengan Konsulat Jenderal RI untuk menyediakan tempat penampungan sementara di Hotel Norcom, makan dan transportasi ke Bandara," kata Ujang.
Dijelaskannya bahwa sejak 6-14 Oktober KJRI membuka pendaftaran kepada WNI yang ingin pulang ke tanah air. "Hingga kini terdata 1.573 perempuan dan 370 pria yang ingin kembali ke tanah air," kata Ujang.
Ia menjelaskan sebagian besar mereka kabur dari majikan dan banyak yang melanggar izin tinggal. Misalnya, baru bekerja 3-4 bulan atau 1-2 tahun lalu kabur dari majikan kemudian bekerja 3-5 tahun dan kini ingin pulang.
"Untuk kepulangan mereka, KJRI membuatkan surat perjalanan laksana paspor karena sebagian besar dari mereka tidak memegang paspor," kata Ujang.
Sementara Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusjdi Basalamah ketika dihubungi di Indonesia menyampaikan apresiasinya atas upaya pemerintah memulangan WNI bermasalah itu.
"Kedepan perlu dikaji lebih dalam apa yang membuat mereka kabur dari majikan," kata Rusjdi. Dia menduga karena sistem dan besaran upah yang ditetapkan saat mereka berangkat tidak sesuai dengan harga pasar.
Dia mencontohkan, saat ini upah TKI di Saudi 500-700 dolar AS perbulan. Kondisi itu dimungkinkan karena TKI wanita (informal) langka akibat moratorium (penghentian sementara) yang hingga saat ini masih berjalan.
"Umumnya majikan membujuk TKI-nya untuk tidak pulang karena mereka akan susah mencari pengganti. Bahkan mereka sampai memberi cuti, dengan harapan si TKI akan kembali," kata Rusjdi.
Terkait dengan kondisi itu dia menilai potensi penempatan TKI masih baik di Saudi, karena minatnya besar dan kebutuhan di Saudi juga sangat besar.
"Namun, lebih baik Indonesia fokus pada penataan kualitas dan selektif untuk menempatkan TKI ke negara tersebut. Bukan jor-joran mengirim banyak tetapi tidak berkualitas," kata Rusjdi.
Dia menambahkan dengan demikian nilai upah tetap dipertahankan dan majikan menjaga dan "menyayangi" TKI-nya.
Ke dalam dia mengimbau agar dilakukan pembenahan internal seperti perbaikan sistem dan kualitas pelatihan, lalu mematok upah minimal 500 dolar AS seperti kondisi saat ini.
Dia juga memberi apresiasi kepada Kementerian Luar Negeri RI dan KBRI/KJRI di negara di Timur Tengah yang membantu proses pembentukan Perwakilan Apjati di luar negeri yang akan membantu perwakilan RI dalam menangani TKI bermasalah.
Saat ini sudah terbentuk perwakilan Apjati di Kuwait dan Qatar dan sedang dipersiapkan di UEA dan Saudi Arabia.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenag RI Zubaidi di Jeddah, Selasa, mengatakan sebelumya sudah ada pembicaraan antara Kemenag RI, Kemenakertrans maskapai penerbangan Garuda dan perwakilan Indonesia di Saudi.
Dalam pembicaraan tersebut disepakati untuk memulangkan warga negara Indonesia yang bermasalah di Saudi, baik TKI maupun mereka yang melanggar masa tinggal.
"Disepakati untuk menggunakan pesawat haji yang memang kosong ketika kembali ke tanah air, sedangkan jika ada biaya lain seperti airport tax dan lainnya menjadi tanggung jawab kemenakertrans," kata Zubaidi. Sementara pelaksanaannya di Saudi dikuasakan kepada perwakilan RI.
Ditambahkannya pembicaraan pemulangan itu sudah dibahas jauh hari dan bukan proses mendadak.
Sementara Ujang Ridwan Abdullah yang dihubungi pada kesempatan berbeda mengatakan dirinya membantu proses pemulangan tersebut dengan menyediakan tempat dan memberi makan dua kali, siang dan malam, sedangkan pagi diberi makanan kecil.
"Kami menandatangani kerja sama dengan Konsulat Jenderal RI untuk menyediakan tempat penampungan sementara di Hotel Norcom, makan dan transportasi ke Bandara," kata Ujang.
Dijelaskannya bahwa sejak 6-14 Oktober KJRI membuka pendaftaran kepada WNI yang ingin pulang ke tanah air. "Hingga kini terdata 1.573 perempuan dan 370 pria yang ingin kembali ke tanah air," kata Ujang.
Ia menjelaskan sebagian besar mereka kabur dari majikan dan banyak yang melanggar izin tinggal. Misalnya, baru bekerja 3-4 bulan atau 1-2 tahun lalu kabur dari majikan kemudian bekerja 3-5 tahun dan kini ingin pulang.
"Untuk kepulangan mereka, KJRI membuatkan surat perjalanan laksana paspor karena sebagian besar dari mereka tidak memegang paspor," kata Ujang.
Sementara Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Rusjdi Basalamah ketika dihubungi di Indonesia menyampaikan apresiasinya atas upaya pemerintah memulangan WNI bermasalah itu.
"Kedepan perlu dikaji lebih dalam apa yang membuat mereka kabur dari majikan," kata Rusjdi. Dia menduga karena sistem dan besaran upah yang ditetapkan saat mereka berangkat tidak sesuai dengan harga pasar.
Dia mencontohkan, saat ini upah TKI di Saudi 500-700 dolar AS perbulan. Kondisi itu dimungkinkan karena TKI wanita (informal) langka akibat moratorium (penghentian sementara) yang hingga saat ini masih berjalan.
"Umumnya majikan membujuk TKI-nya untuk tidak pulang karena mereka akan susah mencari pengganti. Bahkan mereka sampai memberi cuti, dengan harapan si TKI akan kembali," kata Rusjdi.
Terkait dengan kondisi itu dia menilai potensi penempatan TKI masih baik di Saudi, karena minatnya besar dan kebutuhan di Saudi juga sangat besar.
"Namun, lebih baik Indonesia fokus pada penataan kualitas dan selektif untuk menempatkan TKI ke negara tersebut. Bukan jor-joran mengirim banyak tetapi tidak berkualitas," kata Rusjdi.
Dia menambahkan dengan demikian nilai upah tetap dipertahankan dan majikan menjaga dan "menyayangi" TKI-nya.
Ke dalam dia mengimbau agar dilakukan pembenahan internal seperti perbaikan sistem dan kualitas pelatihan, lalu mematok upah minimal 500 dolar AS seperti kondisi saat ini.
Dia juga memberi apresiasi kepada Kementerian Luar Negeri RI dan KBRI/KJRI di negara di Timur Tengah yang membantu proses pembentukan Perwakilan Apjati di luar negeri yang akan membantu perwakilan RI dalam menangani TKI bermasalah.
Saat ini sudah terbentuk perwakilan Apjati di Kuwait dan Qatar dan sedang dipersiapkan di UEA dan Saudi Arabia.
No comments:
Post a Comment